CATATAN DARI SEBUAH RESEPSI



Makan tidak boleh sambil berdiri, berjalan maupun tengkurap, tetapi harus sambil duduk.
لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ (رواه مسلم عن أبى هريرة)
Janganlah ada salah seorang di antara kamu yang minum sambil berdiri. Barang siapa lupa, hendaklah menumpahkan apa yang diminumnya. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)

Sampai ke lokasi resepsi sebuah pernikahan bersamaan hanya lima menit dariundangan yang tercantum. Mengisi daftar tamu setelah dipersilahkan di tempat tamu wanita. Buku tamu ada di dua sisi, satu untuk tamu wanita dan datunya lagi untuk tamu pria. Saat menuju tempat mempelai sangat rapat dengan antrian. Butuh setengah jam untuk sampai di tempat tersebut. Di tempat makan juga seudah penuh dengan orang yang berkerumun antri engambil makanan. Beberapa orang berkumpul sedang menyantap makanan samba berdiri. Hanya sekilas terpikir, berdiri.
                Sesampainya di panggung tempat mempelai segera ucapan selamat kuucapkan. Berdiri di panggung  urutan pertama adalah ayah dari mempelai pertama, lalu ibu mempelai wanita, mempelai pria, mempelai wanita, ibu mempelai pria dan ayah mempelai pria. Ayah mempelai pertama adalah rekan kerja beberapa tahun lalu, ibu mempelai pertama adalah teman pengajian, mempelai wanita adalah muridku dan murid beberapa teman guru yang juga kulihat hadir. Turun dari panggung langsung tempat masuk ke buffet khusus {untuk “orang-orang tertentu” seperti pejabat, tokoh, dan orang yang dihormati oleh pihak pengundang. Terlihat seorang ustadz terkenal  sudah duduk di dalamnya. Seseorang yang kukenal bertugas mempersilahkan rang tertentu, menyapaku. Terlintas di benakku, aku termasuk “orang tertentu” tidak ya? Ha ha ha tentu saja tidak!
                Teman seperjalananku mengajak makan nasi yang kebetulan terhidang di tengah ruangan. Hidangan nasi ada dua di tengah dan pondokan makanan lainnya ada di kedua sisi, mungkin dengan makanan yang sama. Tujuannya adalah untuk dipisah antara pria dan wanita. Tapiiii …. Tak ditemukan pemisahan di resepsi tersebut. Pengantin pra dan wanita disbanding di depan. Maka undangan pun bercampur baur di dalamnya antra pria dan wanita. Seorang panitia wanita (berjilbab) bahkan bersalaman bersama tamu undangan pria, seperti layaknya pria wanita yang belum mengetahui adab Islam antara pria dan wanita …..
                Duluuuuu sekali, saat dakwah baru merebak membasahi bumi Indonesia. Seluruh pelaksanaan perniahan mulai dari taaruf sampai resepsi kental dengan adab-adab Islam. Saat akad pengantin wanita hanya bertemu setelah akad  selesai, saat resepsi dipisah antara mempelai pria dan wanita begitu pula undangannya. Tamu pria hanya bertemu mempelai pria dan tamu wanita bertemu mempelai wanita. Sehingga terjaga fitnah pandangan dari tamu pri ke mempelai wanita (yang didandani degan “cantik” (tabaruj, bahkan seringkali jilbab tidak menutup dada dan pakaian pengantin pun membentuk tubuh indah sang mempelai wanita.
Apa yang salah? Kenapa adat Islami itu berubah ….. dari cara resepsi sampai ke penyajian makanan. Beberapa orang yang tidak dapat kursi Nampak risih ketika makan, sementara kursi yang disediakan tidak memadai, sangat tidak memadai! Kursi jumlahnya hanya basa-basi. MUngkin ketika undangan kepada orang yang tidak mengenal Islam, pemandangan itu menjadi wajar. Tetapi … saya kenal betul bahwa pemeilik rsepsi adalah dari kalangan ustadz dan pemula dalam tarbiyah. Inibukan yang pertama, tetapi asngat sering …. Dan dikerjakan oleh irang-orang yang berlabel Ustadz. Sudah sangat parahkan tingkat ghazwul fikri? Atau memang ini pertanda …. Astaghfirullah.
Mengenai “orang tertentu” juga, yang termasuk di dalamnya adalah pejabat yang nota bene terkadang bukan ustadz, bukan pula guru. Puluhan orang guru yang hadir di undangan itu tidak ada yang dimasukkan ke Buffet khusus. Guru-guru sang mempelai saat sekolah dari TK sampai SMA,  bertebaran mencari tempat duduk untuk makan. Tak ada yang mempersilahkan untuk duduk di buffet karena bukan orang tertentu versi pemilik resepsi. Mengapa diundang gurunya, kalau tidak untuk dihormati. Atau karena “karakter” yang diberikan di sekolah tidak sampai untuk menghormati guru ketika ia sudah dewasa dan sudah menjadi mempelai (kuingat lagi, tidak semua) ada beberapa murid yang saat guru-gurunya hadir, dia minta di foto, mengucapkan terima kasih untuk kehadirannya dan mempersilahkan makan. Tapi memang tidak ada buffet khusus, semua undangan sama. Lalu kemana menguap ilmu yang sudah di peroleh bahwa resepsi harus islami, adab makan dan minum, hormat kepada guru, atau ini juga pertanda …. Astagfirullah.
Mungkin orang akan lebih senang dikatakan modrn daripada berpijak pada nilai-nilai Islam yang sudah baik? Atau … entahlah ….

Posting Komentar

0 Komentar