Makna kata adalah makna yang
terdapat dari sebuah kata. Ada makna denotatif, ada makna konotatif, ada makna
leksikal, makna gramatikal dan makna idiomatik. Dalam pembelajaran bahasa,
selain membahas tentang makna kata juga dibicarakan tentang pergeseran makna
kata. Ada pergeseran kata meluas (generalisasi), menyempit (spesialisasi), memburuk
(peyorasi), membaik (ameliorasi), asosiasi dan sinestesia.
Tapi
bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini. Apa pengaruh pergeseran makna
kata dalam kehidupan sesungguhnya? Apa benar pergeseran makna karena
pemakainya? Atau karenan akibat pemakaiannya? Sebuah kata menjadi lebih baik
atau lebih rendah nilainya karena pemakaiannya menempatkan menjadi lebih rendah
atau lebih tinggi. Seorang suami berkata, “bini saya hamil.” Dianggap sangat
tidak sopan. Padahal suami tersebut orang betawi. Dalam bahasa betawi
mengatakan “bini gue” tidak bermakna merendahkan. Tetapi bila istrinya bukan
orang betawi, tentu saja merasa direndahkan, merasa suaminya tidak sopan dan
sebagainya. Nah, bahasa Indonesia bukan bahasa betawi, tetapi terkadang kata “bini”
dijadikan contoh dalam pergeseran makna kata. Jadi siapa yang membuat kata “bini”
menjadi lebih rendah dari kata istri? Tentu saja orang yang bukan orang
berbahasa Betawi.
Andai
tidak ada pergeseran makna kata, berarti dunia pendidikan kita saat ini juga
tidak akan menjadi secarut marut saat ini. Dahulu kata ulama dipakai untuk
semua orang yang berpengetahuan luas, saat ini ulama hanya untuk orang yang
luas pengetahuannya di bidang agama Islam saja. Yang luas pengetahuannya di
bidang mesin disebut insinyur mesin, yang luas pengetahuannya di bidang
akuntansi disebut akuntang, yang luas ilmunya di bidang ilmu jiwa disebut psikolog,
dan lain-lain. Dan mereka memang hanya menguasai bidang ilmu tersebut.
Begitu
halnya di dunia pendidikan, makna guru (yang harus digugu dan ditiru) juga
sudah bergeser. Dahulu guru sangat disegani. Bila bertemu di jalan, sengaja
bersembunyi karena rasa segan. Bukan tidak mau menemani. Bila terpaksa harus
bertemu, mengucapkan salam, berbicara dengan sopan, dan membantu yang sedang
dilakukan guru, membawakan bawaannya, membantu menyapu bila guru edang menyapu
atau mencuci piring, dan sebagainya. Guru bukan hanya untuk anaknya saja,
tetapi juga guru bagi orang tua anak tersebut. Orang tua akan menghormati semua
guru anaknya. Bila ada hal yang kurang meyakiankan, orang tua akan menghadap
guru dan bertanya seraya berbaik sangka. Sang guru pun berusaha menjadi pribadi
yang baik dan selalu menjadi contoh baik di sekolah, di keluarganya dan di
masyarakat lingkungannya.Siswa dan orang tua, di mana pun menghadapi guru. Guru
di mana pun tampil menjadi sosok yang dapat digugu dan ditiru.
Sekarang?
Guru hanya di sekolah bahkan di depan kelas saja! Siswa di luar sekolah,
terkadang tidak menyapa, bahkan pura-pura tidak melihat. Bila di jalan,
menghindar karena malas menyapa, saat di kendaraan tidak berusaha berhenti atau
memperlahan kendaraan sekedar mengucapkan salam. Orang tua juga tidak
menghargai guru ketika di luar lingkungan sekolah. Hal itu terkadang karena social
ekonomi guru di bawah social ekonomi orang tua siswa.
Dahulu guru,
walau ekonominya tidak sebaik orang tua siswa, tetap dihormati! Dahulu guru
adalah seseorang yang juga memiliki pengetahuan luas, tempat semua orang
bertanya. Guru menjadi orang terpercaya untuk menumahkan uneg-uneg saat
kesulitan, tempat mencari perlindungan dari kesusahan, tempat bertnaya bila
bermasalah dengan anak. Dan, guru dapat embantu segala permasalahan tersebut.
Hal tersebut karena guru menjadi orang yang terpilih. Guru senantiasa menambah
perbendaharaan imu dan kemampuannya. Guru senantiasa menjaga perilaku dan
wibawanya. Maka guru-guru tersebut menjadi teladan untuk siswanya, orang tua
siswa, dan masyarakat di lingkungannya.
Dapatkah kita
masih mendapatkan rasa hormat siswa, orang tua dan masyarakat, kalau perilaku
keseharian kita saja masih belum kita perbaiki. Bagaimana adab makan kita,
salat kita, tilawah kita, pengetahuan kita, adab berbicara kita, kebersihan hati
kita. Mungkin betul, di depan siswa kita sudah baik, di belakang siswa? Tetapkah
kita menjadi pribadi guru atau guru sebagai pribadi?
Makna kata “guru”,
hanya kita para guru yang akan menjaganya agar jangan bergeser menjadi
menyempit atau menjadi rendah. Tugas kita bukan hanya mendidik siswa-siswa
kita, tetapi menjadi peminpin. Pemimpin untuk diri kita sendiri, lalu keluarga
kita, kemudian menjadi pemimpin di masyarakat. Menjadi pemipin maka kita akan
menjadi guru yang memiliki kepribadian dan selalu digugu dan ditiru. Wallahu alam bishowab.
Depok, 3 Februari 2014
0 Komentar