“Dapat!” Seru
Andik gembira, ketika gundunya mengenai kumpulan gundu di tengah-tengah
lingkaran putih dari kapur tulis. Matanya berputar cepat mencari gundu lain
untuk dimatikan. Ditembakkannya gundu ke arah gundu Rian. Dan … peletak! Tepat
mengenai sasaran. Gundunya sekarang mendekati letak gundu Irfan. Tidak sulit
untuk mematikannya. Tinggal gundu tisa dan Rosyad yang harus dimatikan Andik.
Bila dua gundu itu dapat dimatikannya, maka sepuluh gundu akan menjadi
miliknya. Andik cukup lihai mengatur strategi agar gundunya dapat menyapu
bersih gundu lawannya.
“Andik …! Pulang….!” Suara Bu Muhtar
memanggil Andik.
Andik mendengarnya. Tetapi matanya
tak berpaling. Tatapannya tajam ke arah gundu Tisa. Dan … pletak! Lagi-lagi
gundu Andik tepat mengenai sasaran.
“Andik…! Andik…!Andik…!”
Andik tak menyahut. Tapi ia
mendengar suara ibunya dengan jelas.
“Aduh,
kemana sih? Andik…! Tolong Umi, Nak!” Suara uminya terdengar putus asa dan
kesal.
Konsentrasi Andik agak buyar.
Padahal tinggal satu gundu lawan yang harus dimatikannya. Andik menarik nafas.
Dia memusatkan kembali konsentrasinya. Saat tangannya hendak menembakkan
gundunya ….
“Andiiiiik…!” suara Bu Muhtar keras.
Dan ….
Pletak! Gundu Andik melenceng!
Andik
berdiri kesal. Mukanya merah memberengut. Tangannya mengepal. Kakinya
dijejakkakan ke tanh dengan keras. Matanya tak berkedip melihat gundunya yang
masih bergerak mendekati gundu Rosyad. Dan perlahan berhenti sekitar 10 cm dari
gundu Rosyad.
“Hhhhhhh…
gara-gara Umi nih! Ah ….” Keluhnya kecewa. Tangan kirinya menggaruk kepalanya
yang tidak gatal. Tangan kanannya mengambil delapan gundu dari kantong
celananya.
Melihat gundu Andik tidak dapat
mematikan gundunya, Rosyad terlonjak gembira. Sementara itu teman-teman Andik
yang lain ikut bertepuk tangan.
“Ayo, serahkan gundu itu padaku! Ha
… ha … ha … semuanya sekarang menjadi milikku,” seru Rosyad seraya berjongkok
mencari posisi yang enak untuk mematikan gundu Andik.
“Andik…!Andik …!” Seru Bu Muhtar
lagi.
“Huuhhh ….!” Andik melempar kedelapan
gundu yang ada di tangannya. “Nih … aku kembalikan gundu kalian!” Diambilnya
gundu yang akan dimatikan Rosyad dan berlari meninggalkan teman-temannya yang
masih tertawa.
“Andik …!”
“Iya …Umi!” Andik menjawab dengan
kencang.
“Hei! Andik engkau curang! Mana
gundunya satu lagi! Aku menang, ayo simpan lagi gundumu di tempatnya semula.
Kalu kamu nggak menyimpannya, kamu curang! Andik… kembali!” Rosyad
berteriak-teriak setelah menghitung gundu yang dilemparkan Andik hanya ada
delapan. Harusnya sembilan dengan pasangan Andik. Tapi Andik tidak
memberikannya. Andik berhenti berlari dan berbalik. Saat Andik hendak bicara ….
“Andik…!”
“Iya … iya….!” Andik menjawab
panggilan Bu Muhtar. Matanya menatap teman-temannya. “Aku nggak kalah, aku juga
nggak curang. Aku dipanggil umiku.”
“Hei Andik! Kamu curang! Harusnya
kamu berikan gundu pasanganmu kepada Rosyad!” Kata Iwan dan Irfan.
“Andik ….! Andik ….!”
“Ya ….!” Parau Andik menjawab. Air
matanya hampir keluar. Dia tidak rela kalau harus menyerahkan gundunya begitu saja
kepada Rosyad. Tapi Uminya terus memanggil. Andik tidak mempunyai kesempatan
lagi.
“ini!” Dilemparkannya gundu
pasangannya ke arah Rosyad. Tanpa berkata apa-apa lagi Andik berbalik dan
berlari kembali menuju rumahnya.
Dari jauh Andik dapat melihat uminya
mencari-cari sambil mememgangi tangan Arif, adiknya. Andik sudah tahu, pasti
Arif minta jajan, di tangan Arif tergenggam uang ribuan.
“Andik, Andik…! Kamu dipanggil kok
lama banget, ke mana saja. Ayo tolong antar Arif ke warung Ceu Mumun.” Bu
Muhtar memberikan tangan Arif untuk dituntun Andik.
Andik tidak berbicara. Diambilnya
tangan Arif, lalu dituntun menuju warung Ceu Mumun. Mukanya masih cemberut.
Sampai di warung Andik menyorongkan tubuh Arif untuk membeli makanan yang
diinginkannya. Arif diam menunggu Andik. Melihat Andik diam saja, Arif mulai
merenggek.
“Ka…kak… … Arif mau itu.” Tangan
Arif menunjuk Chiki Ball.
“Yang ini?” Andik memegang Chiki
Ball yang ditunjuk adiknya. Arif menggeleng. Andik menunjuk maknan yang ada di
sebelahnya lagi. Arif menggeleng lagi. Andik kesal. Dipegangnya tangan Arif.
“Kamu mau yang mana? Cepetan!
Hhhh…..!” Tangan Andik mencengkram tangan Arif. Arif menangis kesakitan.
“Umiii…
umiii … Kakak jahat…” Arif mulai menangis.
“Eh,
Andik! Adiknya jangan dimarahin.” Ceu Mumun melarang Andik yang
hampir
membentak Arif.
“Arif,
mau apa sayang?” Ceu Mumun bertanya kepada Arif. Arif menunjuk biskuit
kesukaannya. Andik membelalak.
“Ehh, nggak boleh yang itu!” Andik membentak Arif
Ceu
Mumun mengambil biskuit dan diberikan kepada Arif. Andik mengambilnya dari
tangan Arif dan dikembalikan kepda Ceu Mumun.
“Maaf Ceu Mumun, uangnya nggak cukup.”
“Nggak
apa-apa Andik. Biar nanti Ceu Mumun yang mengatakannya kepada Umi kamu.” Ceu
Mumun memberikan kembali biskuit itu kepada Arif.
“Makasih
Ceu.” Andik membalikkan badannya sambil kembali menuntun Arif untuk pulang.
Hatinya semakin kesal. Ia merasa semua orang memperhatikan adiknya. Sedangkan
dirinya selalu direpotkan dan diacuhkan. Andik menghentak-hentakkan tangan Arif
yang dituntunnya.Sampai akhirnya ….
Pada
satu hentakan, tangan Arif terlepas dari tangan Andik. Arif terjatuh
tertelungkup. Kepalanya membentur ujung salah satu undakan dan menggelinding ke
bawah.
“Umiiiiiii!”
Arif menjerit kesakitan. Lalu …. Diam terlentang dengan darah bercucuran di
keningnya.
Andik berlari dan memeluk tubuh adiknya yang diam.
“Arif!
Ariiiif… bangun!” Andik menggoyang-goyangkan tubuh Arif.
Arif
diam tak bergerak. Andik ketakutan.
“Umii!
Umiiiii…!” Andik berteriak memanggil uminya. Tetapi tak ada yang datang. Andik
mulai panik. Andik mulai menangis. Diletakkannya tubuh Arif dan berlari
pulang. Sepanjang jalan Andik
berteriak-teriak memanggil uminya. Sampai di depan pintu rumah, Andik terjatuh.
“Umiii!!!
Arif!” Bu Muhtar keluar.
Andik
memegang kaki uminya.
“Umiii…
A … rif … Mi!” Andik berbicara terengah-engah.
“Kenapa
Arif Ndik. Ayo kamu berdiri dulu.” Bu Muhtar membangunkan Andik.
“Nah,
sekarang tarik nafas pelan-pelan.” Bu Muhtar menyuruh Andik mengatur nafasnya.
Andik tak peduli lagi yang dikatankan uminya. Tangannya menunjuk ke arah Arif
ditinggalkann dalam keadaan pingsan. Air matanya bercampur dengan keringat yang
mengalir dari kedua matanya.
Bu
Muhtar merasa heran dengan sikap Andik. Dia menengok ke arah telunjuk Andik.
“Mana
Arif?” tanyanya setelah sadar Arif tidak bersama Andik.
Andik
kembali menunjuk ke tempat Arif terjatuh.
Bu
Muhtar masih belum mengerti tentang apa yang terjadi. Tetapi ia segera berlari
menuju ke arah yang ditunjukkan Andik.
Andik
mengikutinya tertatih-tatih. Saat sampai di tanjakkan Bu Muhtar melihat ke
bawah, tempat Arif tertelungkup dengan darah bercucuran.
“Ariiiifff!!!”
Serunya sambil berlari menghampiri Arif.
Dipegangnya
nadi Arif. Bu Muhtar lega. Karena Arif masih hidup. Segera dipangkunya Arif.
Saat berbalik dia melihat Andik. Bu Muhtar tidak berkata apa-apa. Berhenti
sebentar lalu berlari lagi. Bu Muhtar tidak membawa Arif ke rumah, tetapi ke
rumah Pak rahmat yang memiliki mobil. Andik yang mengikutinya di belakang tidak
tahu apa yang dikatakkan uminya. Andik hanya melihat uminya naik ke dalam mobil
dan pergi tanpa memperdulikannya lagi.
Andik
bingung. Andik kembali ke rumahnya sambil terisak-isak.
*****
Maghrib
sudah berlalu. Andik baru saja selesai melaksanakan salat. Tiba-tiba Andik
mendengar tangis Aisyah, adiknya. Andik lari ke kamar dan mengendongnya. Aisyah
masih terus menangis. Andik bingung. Ia berlari ke dapur. Dilihatnya botol susu
yang belum ditutup, masih hangat. Ditutupnya botol itu dan diberikan kepada
Aisyah. Aisyah menghirup susunya dengan lahap. Tak berapa lama susu itu habis,
Aisyah berkeringat, matanya terpejam.
Andik mengayun-ayunkan digendongannya. Setelah yakin Aisyah sudah tertidur,
Andik menidurkan Aisyah di kamar.
“Kring!
Kring!” tiba-tiba suara telepon berbunyi.
Andik
mengintip keluar kamar. Keadaan sudah mulai gelap. Lampu belum ada yang
dinyalakan. Tiba-tiba Andik merasa ketakutan.. Ditekannya tombol lampu kamar
yang dekat dengan tangannya.
“Tap!”
Bunyi saklar lampu terdengar nyaring. Tapi di dalam kamar tetap gelap. Andik
mengembalikan saklar ke posisi semula.
Tetap gelap. Ditekannya lagi, juga tetap gelap.
“Kring!
Kring!” telepon kembali berbunyi. Andik berlari ke luar menuju saklar lampu
ruang tengah.
“Tap!”
juga tidak menyala.
“Kring!
Kring!”
Andik
berlari menghampiri telepon.
“Hallo!”
Suaranya bergetar menahan rasa takut.
“Hallo!”
Andik berteriak setengah putus asa karena tak ada suara yang menyahut.
“Tut!
Tut! Tut!” Telepon berbunyi tanda sudah ditutup. Andik kesal.
Andik
berlari ke ruang tamu, dicobanya menyalakan saklar lampu.
“Tap!”
kembali tidak menyala.
Andik
sudah tidak tahan lagi. Ia berlari ke luar. Semua rumah tetangga terang
benderang. Cepat Andik memeriksa sekering Andik memeriksanya. Dan …
ternyata,
turun.
“Ahhhh
… Alhamdulillah.” Andik menarik napas
panjang. Dinyalakan semua ruang depan, luar, dan kamar.
“Kring!
Kring! Kring!” Suara telepon berbunyi lagi. Andik berlari untuk mengangkatnya.
Peluh kembali bercucuran di dahinya. Dia mengusap dengan punggung tangannya.
“Tut
… tut… tut ….” Telepon kembali terputus sebelum Andik sempat berbicara dengan
suara di depannya.
“Krrrk … krrrrkk….” Perut Andik terdengar
berbunyi. Andik melengkungkan badannya untuk menahan rasa lapar yang mulai
memutar ususnya.
“Gog!
Gog! Gog!” Anjing liar di belakang rumah menggonggong sesuatu. Andik terkesiap.
Bulu kuduknya berdiri. Keringat dingin sekarang mulai muncul menggantikan peluh
yang tadi bercucuran.
“Klik!” Andik meloncat ke belakang. Suara
pintu terdengar aneh di telinga Andik.
“Kkkrrrk
… kkrrkkk.” Kembali perutnya berbunyi.
Andik
menuju dapur. Masih gelap. Andik belum sempat menyalakan lampu.
“Tap!’
lampu menyala, tapi….
Andik
melihat bayangan putih berkelebat terlihat dari kaca dapur.
“Brraashhk!”
sesuatu jatuh ke rmpun bambu yang ada di belakang rumah.
Sekejap
Andik melupakan rasa laparnya. Ia berlari ke dalam rumah dan masuk ke dalam
kamar. Tampak Aisyah masih tidur. Tangan Andik mulai dingin. Dengan cepat rasa
dingin menyergap ke seluruh tubuhnya. Anangan putih terus melintas di depan
matanya. Andik menutup matanya, tak bisa. Diambilnya selimut dan ditutupkan ke
suruh tubuhnya sampai kepala.
“Umi
… Umi… Umi. Hik … hik…hik.” Terdengar
isak dari balik selimut. Lama-lama kelamaan isak Andik hilang menjadi dengkur
halus.
*****
“Ha
… ha… ha… bagus … bagus! Senang kan kamu menjatuhkan Arif? Kamu tidak usah
menuntun dan mengantarnya lagi! kamu dapat bermain gundu dengan tenang!” Orang
dengan taring, wajah mengerikan dan berjubah hitam itu memelototkan matanya
kepada Andik sambil mengayun-ayunkan sapu di tangannya. Andik duduk di pojok
ruang tengah. Dia sudah ketakutan, takut
kena gebukan sapu yang ada di tangan makhluk menyeramkan itu.
“Bagus.
Aku senang melihatmu melakukannya. Dan … akan ada satu anak lagi yang tidak
menyayangi adiknya. Kamu! Ha … ha… ha…!” suara tawa itu memekakkan telinga
Andik. Andik menutup telingan dengan kedua tangannya. Tetap tidak dapat
mencegah suara itu!
“Umi
… tolong Andik, Mi… hik … hik … hik…” Andik mulai menangis lagi.
“Ha…
ha… ha…! KKau pikir Umimu akan menyayangi kamu setelah apa yang kau lakukan
kepada adikmu? Tidak akan! Ha…ha…ha….!” Semakin tertawa, taring makhluk itu
semakin panjang.
“Ha
… ha …ha…! Umimu sedang mengurus Arif adikmu. Dia tak akan menyayangi kamu
lagi. Kamu sekarang akan menjadi anak buahku. Ha … ha … ha!”
“Tidak!
Aku tidak mau!” Andik berteriak.
“Kalau
begitu, aku akan membawa adikmu! Karena dia juga tidak akan sayang lagi
kepadamu, setelah kau mencelakakannya dan membuatnya terluka parah! Ha … ha …
ha …!”
“Jangan!
Jangan bawa adikku! Aku sayang Arif! Aku sayang! Janagn dibawa! Jangaaannn!”
Andik berteriak-teriak sambil berusaha berdiri. Tapi tidak bisa. Kakinya sangat
lemas.
“Umiiii!
Maafkan Andik, Mi. Andik salah! Andik tidak akan nakal lagi! Andik sayang Arif!
Andik akan main mengajak Arif, Miiii!”Andik merangkak, berusaha mendekati
pintu.
Tiba-tiba
saja makhluk itu suda ada di depannya.
“Ha
… ha … ha …! Mau ke mana anak nakal?” makhluk itu menyeringai memperlihatkan
taringnya. Air liurnya yang berwarna merah dan bau nampak meleleh dari kedua
sudut bibirnya.
“Pergi
kau makhluk jahat! Kau tidak boleh mengambil adikku!” Andik
menendang-nendangkan kakinya.
“Ha
… ha … ha …! Kalau begitu kau iikut aku!” Makhluk itu memegang kedua tangan
Andik dan diikat di belakang. Andik disuruh berdiri dan berjalan di depan.
“Tidaaakk!
Tidak mau….! Umiiiii! Toloooooong! Andik tidak akan nakal lagi! Miiiii …
Tolooongg!” Andik berteriak meminta tolong uminya.
“Ha
… ha … ha …! Ini balasan untuk anak yang jahat sama adiknya sndir. Kamu akan
ikut ke gua yang gelap dan disekap di sana! Ha
… ha … ha…!” Makhluk menyeramkan itu kembali tertawa terbahak-bahak
memperlihatkan taringnya yang sudah sampai dagunya.. Tangannya yang berbulu
lebat, hitam dan berkuku panjang terulur hendak memegang pndak Andik.
Sap!
Tangan itu terasa berat di pundak Andik.
“Toloooonnng
…!” Andik berteriak, lalu ia merasa
tubuhyna ringan. Andik tidak ingat apa-apa ag. Semuanya gelap.
“Andik!
Bangun! Ini Umi, Nak!” Samar-samar Andik mendengar suara uminya.
“Umiii
… tolong! Andik tidak mau pergi dengan makhluk seram itu. Andik takut, Miii ….
Toloooong!” Andik bangun dan memeluk Bu Muhtar.
“Iya.
Ini Umi mau nolongin kamu. Ayo! Sekarang baca istighhfar!” Ayo ..
Astaghfirullah hal adziiimmm.” Bu Muhtar menuntun Andik untuk istighfar.
“Astaghfi…rullahal
… adziiimmm….” Andik mengikuti.
“Nah,
sekarang buka matamu! Ayo lihat! Tidak ada
makhluk seram. Adanya Ayah, Umi, dan Arif.”
Andik
membuka matanya. Ada Umi, Ayah, dan … Arif di depannya. Perlahan-lahan dia
memutarkan pandangannya mencari sesuatu.
“Ada
apa Andik? Kamu mencari apa?” pak Muhtar bertanya sambil memegangi pundak
Andik.
“Ada
makhluk menakutkan, Ayah. Dia mau membawa Andik. Dia bilang Andik jahat. Andik
tidak jahat. Andik sayang sama Arif. Andik janji tidak nakal lagi. Andik janji
Ayah.” Andik menceracau. Matanya masih terus mencari.
“Umi
… Andik menyesal … Miiii….” Andik menengadahkan kepalanya melihat wajah uminya.
Badannya dingin karena keringat. Bibirnya masih bergetar karena takut.
“Iya
… iya. Sudah. Andik jangan begini dong.” Bu Muhtar melepaskan tangan Andik.
“Andik
takut … Andik nggak mau diajak pergi makhluk seram itu.”
“Iya
sayang. Tidak ada apa-apa. Coba lihat mana makhluk seramnya. Umi tidak melihat?
Ayo pelan-pelan. Di sini hanya ada Umi, Ayah, dan Arif.” Kata Bu Muhtar
meyakinkan Andik.
Pelan-pelan
Andik melepaskan pelukannya. Tiba-tiba….
“Glombrang…!”
Suara panci jatuh di dapur.
“Umiiii
… tolooong! Andik nggak mau pergi!”
Andik loncat dan memeluk Bu Muhtar lagi.
“Andik
sayang. Itu cuma suara kucing. Tidak ada makhluk seram. Kamu pasti mimpi.”
“Tapi
tadi ada, Mi. Andik takut.”
“Iya.
Makhluk itu ada karena Andik takut. Lalu Andik tidak baca doa lagi tidurnya.
Iya … kan?” Bu Muhtar menjelaskan.
“Andik
diam saja. Dia menyelusupkan kepalanya lebih dalam lai di pelukan Bu Muhtar. Bu
Muhtar mengelus kepala Andik.
“Andik,
makhluk seram itu ada kalau Andik takut dan tidak membaca doa. Ayo sekarang
Andik jangan takut. Umi saja tidak takut, tidak ada makhluk seram kok!” Bu
Muhtar terus menenangkan Andik.
“Umi
… Andik sayang sama Arif. Tadi Andik kesal karena Andik kalah main gundunya.
Andik nggak jahat … Mi.” Adik masih tetap memeluk Bu Muhtar.
“Ya
… sudah. Lain kali Andik tidak boleh begitu. Kalau Andik sayang sama Arif.” Pak
Muhtar menatap Andik
“Andik
sayang Arif, Yah.”
“Ya.
Sekarang Andik minta maaf sama Arif. Tuh
Arifnya sudah diobati sama dokter.” Andik melepaskan pelukannya dari Bu Muhtar.
Perlahan-lahan
Andik menghampiri Arif yang masih digendong Pak Muhtar. Dia melihat kepala Arif
yang diperban.
“Arif
.. maafkan Kakak ya, Rif. Kakak janji akan mengajak Arif main. Kakak sayang
sama Arif. Kakak tidak akan jahat lagi sama Arif” Andik memeluk Arif. Dia
mengusap-ngusap perban yang membalut kepala adiknya.
Arif
membalas pelukan Andik.
“Kakak…
besok ajak Arif main ya … Kak?” Kata Arif.
“Iya
.. Kakak Janji. Asal Arif memaafkan Kakak.” Jawab Andik sayang.
“Tapi,
Kakak jangan melepaskan tangan Arif lagi, ya Kak. Nanti Arif jatuh lagi.” Arif
terus memohon.
“Iya
kakak janji. Kakak tidak akan jahat lagi sama Arif.” Andik mencium kening Arif
yang terbalut perban.
Andik
membawa Arif ke sofa. Andik mendudukkan Arif. Diambilnya sebuah buku cerita.
Bu
Muhtar dan Pak Muhtar tersenyum melihat kelakuan kedua anaknya. Pak Muhtar
sudah yakin tidak ada masalah dengan Andik, ia pergi menuju kamar untuk
berganti baju
“Arif,
mau Kakak bacakan cerita?” Andik duduk di samping Arif.
Arif
mengangguk..
“Kkrrrk
… kkrrrk ….” Perut Andik berbunyi.
“Aduh!”
keluh Andik, rasa lapar menyergapnya lagi.
“Mi,
Andik lapar.”
“Ya. Andik belum makan malam. Sama.
Umi dan Ayah juga belum. Ayah tadi langsung ke rumah sakit dari kantor. Ayo
sekarang kita makan dulu. Andik siapkan piring di meja makan ya! Umi mau
mengganti baju Arif dan melihat Aisyah dulu!” Bu Muhtar seraya ke kamar untuk
melihat Aisyah dan mengambil baju Arif.
“Ya, Mi.” Andik berlalu ke dapur.
Rasa takutnya sudah hilang bersamaan dengan rasa penyesalannya.
***Alhamdulillah****
Cimanggis, 12 April 2001
Imas Eva Nurviati
0 Komentar